Poster sayembara penangkapan tersangka kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games Palembang, Muhammad Nazaruddin, dipasang aktivis Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) di Jakarta, Kamis (14/7/2011). LIRA menyediakan hadiah Rp 100 juta bagi siapapun yang mampu memberikan info dan menangkap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu.
KABAR PALEMBANG, JAKARTA, — Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding menilai upaya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua ini makin tak mumpuni menjelang tahun ketiga. Penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi, bersifat diskriminatif, tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Suding mengaku pesimistis terhadap adanya perubahan ke depan karena pemberantasan korupsi hanya retorika semata. Suding mengatakan, Presiden SBY hanya membicarakan upaya pemberantasan korupsi melalui pidato, pernyataan, dan komentar, tanpa implementasi yang tegas di lapangan.
Sementara itu, para penegak hukum malah bingung menerjemahkannya. Suding mencontohkan perbedaan kepemimpinan yang tegas antara Presiden SBY dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat masih menjabat.
"Contohnya dengan keinginan Pak SBY meminta Kapolri menangkap Nazaruddin. Saya kira orang-orang penegak hukum itu juga kebingungan dan gamang, apakah pidato ini harus serius ditindaklanjuti atau hanya pencitraan. Tidak seperti ketika polisi harus menangkap Robert Tantular. Waktu itu, Pak JK langsung telepon Kapolri, seketika itu juga langsung ditangkap. Coba Pak SBY enggak hanya pidato, tapi langsung telepon Kapolri, saya kira mereka akan kerja serius. Tapi ini kan hanya sebatas pidato. Mereka juga sulit menerjemahkan, apakah pidato ini serius untuk ditindaklanjuti atau hanya sebatas pencitraan," katanya di Gedung DPR, Jumat (29/7/2011).
Politisi Hanura ini mengatakan, publik juga sudah paham bahwa pidato Presiden SBY kerap dijadikan sebagai alat pencitraan saja. Jarang yang diimplementasikan dengan tegas di lapangan. Sementara itu, aparat penegak hukum juga takut salah langkah. Suding menegaskan bahwa kekhawatirannya ini ternyata mendapat penegasan dari salah satu petinggi Polri yang pernah berbincang dengannya.
"Dalam satu kesempatan saya bicara dengan petinggi Polri, mereka bingung apakah pidato ini harus dilakukan serius, tidak seperti kita diperintahkan untuk tangkap Robert Tantular, kita langsung ditelepon," tambahnya.
Oleh karena itulah, Suding merasa bahwa komitmen Presiden dan pemerintahannya untuk menegakkan hukum dalam kasus terkait mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin penuh dengan kepura-puraan. Pasalnya, sejak awal aparat penegak hukum sudah terlibat dengan kepentingan elite partai politik dan penguasa.
KABAR PALEMBANG, JAKARTA, — Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding menilai upaya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua ini makin tak mumpuni menjelang tahun ketiga. Penegakan hukum, terutama dalam pemberantasan korupsi, bersifat diskriminatif, tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Suding mengaku pesimistis terhadap adanya perubahan ke depan karena pemberantasan korupsi hanya retorika semata. Suding mengatakan, Presiden SBY hanya membicarakan upaya pemberantasan korupsi melalui pidato, pernyataan, dan komentar, tanpa implementasi yang tegas di lapangan.
Sementara itu, para penegak hukum malah bingung menerjemahkannya. Suding mencontohkan perbedaan kepemimpinan yang tegas antara Presiden SBY dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat masih menjabat.
"Contohnya dengan keinginan Pak SBY meminta Kapolri menangkap Nazaruddin. Saya kira orang-orang penegak hukum itu juga kebingungan dan gamang, apakah pidato ini harus serius ditindaklanjuti atau hanya pencitraan. Tidak seperti ketika polisi harus menangkap Robert Tantular. Waktu itu, Pak JK langsung telepon Kapolri, seketika itu juga langsung ditangkap. Coba Pak SBY enggak hanya pidato, tapi langsung telepon Kapolri, saya kira mereka akan kerja serius. Tapi ini kan hanya sebatas pidato. Mereka juga sulit menerjemahkan, apakah pidato ini serius untuk ditindaklanjuti atau hanya sebatas pencitraan," katanya di Gedung DPR, Jumat (29/7/2011).
Politisi Hanura ini mengatakan, publik juga sudah paham bahwa pidato Presiden SBY kerap dijadikan sebagai alat pencitraan saja. Jarang yang diimplementasikan dengan tegas di lapangan. Sementara itu, aparat penegak hukum juga takut salah langkah. Suding menegaskan bahwa kekhawatirannya ini ternyata mendapat penegasan dari salah satu petinggi Polri yang pernah berbincang dengannya.
"Dalam satu kesempatan saya bicara dengan petinggi Polri, mereka bingung apakah pidato ini harus dilakukan serius, tidak seperti kita diperintahkan untuk tangkap Robert Tantular, kita langsung ditelepon," tambahnya.
Oleh karena itulah, Suding merasa bahwa komitmen Presiden dan pemerintahannya untuk menegakkan hukum dalam kasus terkait mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin penuh dengan kepura-puraan. Pasalnya, sejak awal aparat penegak hukum sudah terlibat dengan kepentingan elite partai politik dan penguasa.
0 komentar:
Post a Comment
Mohon Maaf Komentar : Mengandung SARA, Sex, Menghasut/provokasi dan sejenisnya akan kami "Hapus"