Lihat saja yang terjadi pada kasus penembakan empat tahan di LP Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Maret lalu. Orang nomor satu dalam jajaran pasukan yang menjadi tersangka menyatakan siap bertanggung jawab. Namun, hingga ini tidak jelas seperti apa tanggung jawab itu.
Dalam karut-marut pelaksanaan Ujian Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan sigap mengatakan bertanggung jawab. Namun kata-kata itu nyatanya tidak terlalu berarti bagi penyelesaian atau perbaikan kondisi di lapangan.
Siswa-siwa SMA di Kalimantan Timur dan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, harus kembali diombang-ambing perasaan mereka lantaran UN di sana diundur untuk kedua kali akibat naskah ujian tak kunjung lengkap.
Pak menteri malah balik menunjuk pihak-pihak lain yang semestinya bertanggung jawab.
Bukan sekali ini pula pejabat negara sesumbar. Pada 2011, atas terungkapnya fasilitas mewah yang diterima sejumlah narapidana, Menteri Hukum dan HAM saat itu menyatakan bertanggung jawab.
Hal serupa juga terjadi di lingkungan anggota dewan. Terkait skandal proyek Hambalang, Panitia Kerja (Panja) Komisi X DPR menyatakan siap bertanggung jawab. Tetapi sampai kini belum ada tindakan nyata dari para anggota dewan itu terhadap proyek yang telah merugikan negara hingga Rp243 miliar lebih.
Catatan buruk ini akan bertambah panjang jika mengingat kembali janji tanggung jawab dari para anggota dewan yang menggunakan kedok studi banding ke luar negeri tanpa hasil kerja yang jelas.
Keberanian seorang pejabat publik mengambil tanggung jawab ketika suatu persoalan terjadi sebenarnya sebuah kemajuan dalam tata kelola negara ini. Sebab, sebelumnya, para pejabat publik mempertontonkan aksi saling tuding dan lempar tanggung jawab.
Namun, kita menginginkan sebentuk tanggung jawab konkret, bukan omong doang. Rakyat butuh bukti, bukan janji.
Di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan sejumlah negara lain, pejabat publik membuktikan tanggung jawab itu dengan mundur dari jabatan ketika mereka gagal mengemban amanat rakyat.
Meletakkan jabatan bukanlah sebuah beban apalagi aib bagi pemimpin sejati. Pasalnya, bagi para pejabat publik, keberhasilan semestinya diukur dari seberapa besar mereka melayani rakyat serta menjaga moral dan etika.
Ketika gagal mencapai standar itu, dengan kepala tegak mereka mundur dari jabatannya. Bentuk tanggung jawab seperti ini sesungguhnya juga langkah pembuktian kredibilitas bagi pejabat itu sendiri.
Sumber: Metrotvnews.com
Kunjungi Juga:
www.agrobisnis-online.blogspot.com
www.tokotani-online.blogspot.com
www.dmki.or.id
0 komentar:
Post a Comment
Mohon Maaf Komentar : Mengandung SARA, Sex, Menghasut/provokasi dan sejenisnya akan kami "Hapus"